Rekomendasikan Wartawan Dipidana, Pertanda Dewan Pers Tuna Jurnalisme dan Perundangan
Rekomendasikan Wartawan Dipidana, Pertanda Dewan Pers Tuna Jurnalisme dan Perundangan
Oleh: Wilson Lalengke
Betrans,Menurut the American Press Institute, mengutip bukunya Bill Kovach dan
Tom Rosenstiel ‘The Elements of Journalism’, tujuan utama jurnalisme
dituliskan seperti ini: “The purpose of journalism is to provide
citizens with the information they need to make the best possible
decisions about their lives, their communities, their societies, and
their governments”. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: Tujuan
jurnalisme adalah untuk memenuhi kebutuhan warga masyarakat terhadap
informasi yang cukup dalam rangka pengambilan keputusan terbaik bagi
kehidupan mereka, komunitasnya, bangsa dan pemerintahnya.
Berdasarkan definisi tersebut, dalam rangka mencapai tujuan jurnalisme,
setiap jurnalis dituntut untuk melakukan kegiatan jurnalistiknya,
meliputi: mengumpulkan, menyimpan/mendokumentasikan, mengolah, dan
menyebarluaskan informasi kepada publik. Kecukupan informasi dan data
yang dikumpulkan memegang peranan penting terkait dengan pemenuhan
kebutuhan informasi oleh warga masyarakat. Ke-akurat-an, ke-lengkap-an,
ke-komprehensif-an, ke-aktual-an, dan ke-detail-an informasi tentang
suatu masalah menjadi standard untuk mengukur keterpenuhi atau
ketidak-terpenuhinya kebutuhan warga terhadap informasi yang diperlukan.
Di tataran praktek, karya jurnalistik yang benar itu hakekatnya
ditentukan oleh tercakupnya seluruh unsur-unsur informasi yang biasanya
dirumuskan dalam 5W+1H (who, what, when, where, why, dan how atau dalam
Bahasa Indonesia: siapa, apa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana).
Adapun proses check and recheck, konfirmasi, dan validasi data
diperlukan dalam rangka memastikan bahwa keenam unsur (red - 5W+1H) itu
sudah terpenuhi, faktual, akurat, dan detail.
Dalam banyak penulisan berita terkait sebuah peristiwa yang bernuansa
konflik melibatkan dua atau lebih pihak, wartawan sering dituntut untuk
melakukan konfirmasi kepada dua bela pihak yang berseberangan. Hal ini
bisa dipandang penting, tetapi bukan menjadi kewajiban mutlak. Pasalnya,
sangat kecil kemungkinan untuk mendapatkan informasi dari kedua pihak
yang berkonflik.
Upaya menggali informasi dari dua kubu yang berseberangan hanya dapat
dilakukan oleh para warga terlatih, seperti intelijen militer, polisi,
jaksa, KPK, dan mereka yang dilengkapi peralatan khusus, semisal alat
sadap, alat perekam dan kamera tersembunyi. Wartawan tidaklah mungkin
dipaksa melakukan hal itu.
Untuk mendapatkan informasi yang cukup sesuai kebutuhan publik dari
kedua belah pihak yang berseteru, misalnya dalam kasus konflik
masyarakat Pulau Laut di Kalimantan Selatan dengan PT. MSAM milik
konglomerat lokal, Haji Isam, mekanisme hak jawab dan hak koreksi atas
sebuah pemberitaan disediakan oleh UU No. 40 tahun 1999 sebagai jalan
keluarnya. Artinya, ketika sebuah berita yang masih ‘berat sebelah’
dipublikasikan, maka informasi dari pihak sebelahnya lagi menjadi wajib
dikeluarkan oleh pihak yang merasa belum dikonfirmasi. Tugas media
adalah menayangkan artikel atau berita yang berisi hak jawab dan/atau
hak koreksi dari pihak sebelah dimaksud.
Berdasarkan teori dan bangunan pemikiran tentang jurnalisme dan
pemberitaan di media massa sebagaimana diuraikan di atas, maka adalah
sebuah kesalahan besar jika Dewan Pers menyatakan bahwa karya-karya
almarhum M. Yusuf yang tewas di tahanan di Kotabaru, Kalsel, beberapa
hari lalu, dikategorikan sebagai: 1) bukan karya jurnalistik, 2)
beritikad buruk, 3) tidak menjalankan peran/fungsi sebagai pers, dan 4)
pemberitaan M. Yusuf terkait PT. MSAM bukan untuk kepentingan umum.
Kita tentunya sangat prihatin membaca pernyataan Dewan Pers yang
melempar kesalahan itu pada wartawan, dalam hal ini almarhum M. Yusuf.
Sesuatu yang tidak sanggup dinalar manusia normal, tanpa empati, tanpa
merasa bersalah sama sekali.
Semestinya Dewan Pers wajib melakukan validasi sebuah karya jurnalistik
dengan melihat apakah dalam penyajian informasi itu terdapat unsur yang
lengkap terkait 5W+1H. Jika masalahnya jelas, tempatnya bisa
diverifikasi, waktu kejadian jelas, siapa yang terlibat jelas, mengapa
masalah itu bisa terjadi dan ada kronologi kejadian yang faktual, maka
sajian informasi oleh si wartawan adalah karya jurnalistik. Lagi, pihak
Dewan Pers seharusnya menghadirkan penulis M. Yusuf untuk dimintai
keterangan sebagai bentuk check and recheck dan konfirmasi atas
karya-karya jurnalistiknya itu. Dewan Pers tidak dibenarkan mendengar,
apalagi menerima begitu saja sebuah pelaporan dari satu pihak, yakni
Kapolres Kotabaru, saja.
Soal itikad baik dan buruk seseorang dalam menulis, bagaimana cara ahli
Dewan Pers itu bisa menilainya dengan benar? Pemberitaan yang
berulang-ulang dijadikan patokan adanya niat buruk adalah dalih yang
tidak relevan, tidak benar dan menyesatkan. Itu cara ahli nujum jaman
batu. Dulu, kalau ada kupu-kupu masuk rumah, tandanya akan ada tamu
masuk rumah. Mungkin karena sering kejadian ‘ada kupu-kupu ada tamu’,
maka diyakinilah hal itu sebagai sebuah kepastian. Nah, rupanya ilmu
itulah yang digunakan si ahli Dewan Pers selama ini. Hanya tebak-tebak
buah manggis, syukur-syukur isinya manis.
Padahal, pola pengulangan pemberitaan itu merupakan salah satu strategi
yang lumrah dalam jurnalisme sebagai cara penetrasi dan inseminasi
informasi ke masyarakat. Tujuannya agar masyarakat pembaca, pendengar,
dan penonton dapat lebih mengerti, memahami, dan mengingat informasi
yang disampaikan untuk kemudian terdorong mengambil sikap yang tepat
bagi kepentingan hidup mereka, keluarganya, masyarakatnya, bangsa dan
pemerintahnya. Coba Anda lihat pemberitaan di media-media, terutama
televisi, begitu banyak informasi yang diulang hingga puluhan kali. Itu
strategi. Tidak bisa dikatakan bahwa pengulangan itu dapat diartikan ada
itikad buruk. Itu kesimpulan yang ngawur. Sayangnya, kengawuran
berdasarkan asumsi sembrono Dewan Pers itu mengakibatkan banyak wartawan
dipenjara, bahkan mati membusuk di tahanan.
Kesimpulan ‘tidak menjalankan peran/fungsi sebagai pers’ bukan hanya
super ngawur, tapi penuh tendensi untuk membenarkan pihak oknum polisi
yang menangkap M. Yusuf, yang tentu saja dibiayai perjalananya
berulangkali ke Jakarta oleh oknum konglomerat lokal yang diberitakan
oleh almarhum. Kepada Dewan Pers, dan masyarakat umum, kita
kopi-pastekan peranan atau fungsi pers sesuai Pasal 6 UU No. 40 tahun
1999, sebagai berikut:
“Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : a. memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta
menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan
informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.” (Undang-Undang RI Nomor
40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 6).
Pemberitaan, yang mencapai dua puluhan lebih artikel, yang
dipublikasikan oleh almarhum secara nyata adalah pelaksanaan peran yang
bersangkutan sebagai pekerja pers, sebagaimana tertulis di pasal 6 UU No
40 1999. Silahkan Dewan Pers merenung sambil mendo’akan semoga almarhum
M. Yusuf memaafkan Anda semua dari alam sana. Renungkan juga anak dan
istri almarhum yang harus melewati hari-hari sulit sepanjang hayat
mereka ditinggal mati ayah anak-anak itu hanya karena keteledoran dan
‘kebungulan’ oknum-oknum pengurus Dewan Pers.
Kesimpulan soal ‘bukan kepentingan umum’ lebih parah lagi. Bagaimana
mungkin sebuah pemberitaan yang mengadvokasi masyarakat terhadap
kesewenang-wenangan korporasi hitam dan rakus yang menghancurkan sumber
kehidupan mereka dianggap bukan untuk kepentingan umum? Dari asrip
berita yang disampaikan ke Dewan Pers sangat terang-benderang bahwa
berita yang dibuat almarhum merupakan sebuah perjuangan bagi kepentingan
rakyat di lokasi pemukiman penduduk yang tergusur oleh PT. MSAM, bukan
kepentingan individu atau pihak berkepentingan tertentu. Justru
sebaliknya, kesimpulan Dewan Pers itulah yang dapat dikategorikan bukan
untuk kepentingan umum. Kesimpulan ahli Dewan Pers dapat diduga adalah
untuk kepentingan mafia oknum Kapolres bersama jajarannya, oknum
perusahaan, dan oknum kejaksaan. Bahkan, boleh jadi, kesimpulan demikian
itu adalah untuk kepentingan oknum Dewan Pers dan pihak lainnya.
Walahu’alam…
Satu pertanyaan penting yang mengganjal dalam hati para pekerja media
selama ini: Apakah para pengurus Dewan Pers itu sudah lulus Uji
Kompetensi Wartawan?
Rekomendasikan Wartawan Dipidana, Pertanda Dewan Pers Tuna Jurnalisme dan Perundangan
* Penulis adalah Ketua Umum PPWI Nasional, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI
tahun 2012, trainer jurnalistik warga bagi ribuan anggota TNI, Polri,
PNS, guru, dosen, mahasiswa, wartawan, karang taruna, dan masyarakat
umum